Monday, August 10, 2009


Pluralisme Budaya

Kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks adalah memahami perkotaan.
Mengapa? Sebab, dalam setiap kota yang merupakan melting-pot selalu terdapat pluralisme budaya. Dalam kondisi demikian, sulit dihindari benturan budaya yang rentan menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Akibatnya, tata ruang kota juga terentang antara homogenitas yang kaku dengan heterogenitas yang kenyal. Suatu bentuk yang gampang pemeriannya, tapi sulit pengejawantahannya.

Kerumitan lain, khususnya di perkotaan, berkaitan dengan dinamika perkembangan kota. Penduduk kota selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah ditebak. Karena itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku, tidak akan bisa tanggap terhadap perubahan.

Para perencana tata ruang kota mestinya mampu bersikap cerdas atau smart. Artinya, punya sensitifitas, memahami multi budaya, sadar, respek, dan toleran terhadap perkembangan sebuah kota.

Tanpa kepekaan seperti itu, bisa jadi kota-kota di Indonesia akan menjadi kota yang serba seragam, tidak memiliki jati diri, dan meninggalkan kepribadian, kekhasan atau karakternya. Keseragaman kota sudah pasti akan sangat membosankan.






Undang – Undang Republik Indonesia 
Nomor 18 tahun 1999


I. Penjelasan Singkat Undang – undang Nomor 18 Tahun 1999
Undang–undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi membahas tentang deskripsi sebuah proyek jasa konstruksi pihak–pihak yang terlibat di dalamnya, tugas dan tanggung jawab mereka beserta setiap peraturan–peraturan yang berlaku di dalamnya. Dalam Undang–undang ini disebutkan bahwa jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Seperti di sebutkan di atas, jenis usaha konstruksi mencakup usaha perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi, dalam hal ini ketiga jenis usaha tersebut melibatkan banyak pihak sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati. Usaha-usaha jasa konstruksi dapat berbentuk perseorangan atau badan usaha. Pekerjaan jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal dan elektrikal, tata lingkungan, masing–masing beserta kelengkapannya. 
Dalam usaha jasa konstruksi, terdapat persyaratan–persyaratan usaha tertentu yang sehubungan dengan keahlian dan ketrampilan dalam bidang konstruksi. Bahwa badan dan orang-perseorangan maupun tenaga kerja harus memiliki sertifikat persyaratan tersebut serta harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya dengan dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual. Usaha jasa konstruksi dapat dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah dan kecil serta usaha yang bersifat umum, spesialis dan ketrampilan tertentu.
Usaha jasa konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa, pengguna jasa dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan dan membayarkan pekerjaan konstruksi yang didukung dengan sebuah dokumen pembuktian, sedangkan penyedia jasa yang terdiri dari perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi yang dilakukan secara terpisah dimana layanan jasa tersebut dilakukan secara terintegrasi dengan melihat besar pekerjaan, biaya, peralatan dan resikonya. Pengikatan hubungan kerja jasa konstruksi harus dengan cara pelelangan umum atau terbatas dan dengan cara pemilihan/penunjukan langsung. Sebagai pengikat, penyedia jasa harus membuat dokumen yang bersifat mengikat serta kontrak kerja konstruksi. Apabila terjadi pelanggaran atau pembatalan atau pengunduran diri maka pihak yang melakukan hal tersebut wajib dikenakan ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum.
Pengaturan hubungan kerja yang harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi yang meliputi para pihak, rumusan pekerjaan, masa pertanggungan/pemeliharaan, tenaga ahli, hak dan kewajiban, cara pembayaran, cidera janji, penyelesaian perselisihan, pemutusan kontrak kerja, kegagalan bangunan, perlindungan pekerja, dan aspek lingkungan. Khusus mengenai kontrak kerja perencana harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dalam penyelenggaraan konstruksi, penyedia jasa dapat menggunakan subpenyedia jasa yang berkeahlian khusus dan wajib memenuhi dan dipenuhi hak kawajiban masing-masing seperti yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.
Kegagalan bangunan dinilai oleh penilai ahli, pengguna jasa dan penyedia jasa wajib mempertanggungjawabkannya terhitung sejak penyerang akhir pekerjaan.
Masyarakat mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan memperoleh ganti rugi yang layak atas kerugian akibat penyelengaraan pekerjaan konstruksi, serta berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam pekerjaan konstruksi.
Masyarakat jasa konstruksi (Forum Jasa Konstruksi ) terdiri dari unsur-unsur forum yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta mengembangkan peran masyarakat dan merumuskan pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan dalam mengembangkan jasa konstruksi nasional. Sedangkan pelaksanaan pengembangannya dilakukan oleh lembaga yang independen dan mandiri.
Pemerintah berperan dalam melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan (penerbitan UU dan standard teknis), pemberdayaan (hak, kewajiban, peran usaha jasa konstruksi dan masyarakat) dan pengawasan (jaminan ketertiban pekerjaan).
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Masyarakat yang dirugikan akibat pekerjaan tersebut berhak menggugat ke pengadilan secara perorangan, kelompok orang, dan perwakilan. Dalam bentuk tuntutan tindakan, biaya dan tuntutan lain yang sesuai dengan UU kepada penyelenggara jasa.




Virtual Regionalism by Robert Moric 
Is it possible to discuss regional architecture and the Northwest without mentioning technology? If regional design is an expression of the culture of a place, it would seem that technology would be an important component in Seattle - home of Microsoft and its many spin-offs. The high-tech industry has already had a direct impact on architecture in the region. The wealth created by Microsoft has built homes for new million- aires and financed major city projects including the new football stadium, the Union Station development, and the Experience Music Project. So what role can technology play in architecture besides bankrolling it? 
To most people, technology and the imagery associated with Northwest style appear to be inherently at odds. It's a clash between silicone and heavy timber, software and stone. This dichotomy seems to persist in theory, too. Kenneth Frampton suggests that one aim of critical regionalism is to resist the globalizing force wrought by technology. But rather than a reflex reaction against modernization, Frampton posits developing a critical stance toward technology. In this context, the term critical does not mean to find fault or be negative. Instead, to be critical - according to social and cultural historian Raymond Williams - means to develop an active and complex relationship with a situation and its context. 
Surprisingly - or perhaps not - the attitude toward technology evidenced in Bill Gates' new residence is highly uncritical. According to Gates in The Road Ahead, the main purpose of technology is to make a house "easier to live in," but upon closer examination it is obvious that entertainment is the only function fulfilled by technology in his own home. High-definition monitors situated throughout the house display movies, television programming, and digital paintings. However, not a single system makes the house more livable by taking care of domestic chores such as cleaning, cooking, or making the bed. Instead, the latest technological advances are primarily used to allure, seduce, and shock. This is analogous to an expensive Hollywood production resorting to the latest special effects in order to entertain. 
The Gates house automatically adjusts air temperature, lighting, music, and digital art as people move from room to room. This is based on personal data programmed into pins worn by family members and select guests. However, this technological application appears to diminish experience by inhibiting spontaneity and promoting the expected and mundane. In order for the system to function optimally, all deviations from the norm need to be eliminated and all activities need to be reduced to a set of predictable tasks that can easily be programmed. Something as unpredictable as a child can cause a glitch in the system. This leads to the inevitable question: will the system serve us or will we have to adjust to the system? 
Although he may not be as savvy about architecture as he is about software, it still seems strange that Gates would feel the need to cloak technology in familiar forms. Rather than expressing the latest technological advances, the reverse is true: technology is cleverly concealed in the Gates residence. At one point in the design process there was a failed attempt to make the screens of the high-definition monitors disappear by electronically displaying a wood grain pattern. As a compromise, monitors are hidden behind sliding wood panels. Throughout the Gates house familiar forms and materials are used to soften the disruptions caused by the numerous technological interventions. The architecture of the house is seductive and can easily be mistaken for regional if evaluated exclusively on its use of heavy-timber, wood finishes, and stone. However, regional architecture should be more than formalism; it should draw on the specificity of the site and local socio-cultural conditions. This points to the irony of using a regional architectural vocabulary as the primary expressive mode for the founder of Microsoft: a company whose hallmark is globalism. 
Another often cited component of Northwest architecture - and a stated goal for the design of the Gates house - is an image of harmony with the natural world. At first glance the huge complex appears to be sub- servient to the landscape by being dug into the side of the hill. Through technology, however, the house renders the site as simply another reference to the man-made. Banks of monitors conjure up idealized and exotic scenes more enticing than the views glimpsed through the windows. Consequently, one becomes insensitive to the natural beauty and idiosyncrasies of the site. By trying to be everywhere at all times it's possible to be nowhere at any particular time: site-less, therefore homeless. 
Even though individual architectural components of the Gates residence are impeccably conceived and executed, the overall design stops short of being successful since technology is treated autonomously. The design expresses a narcissistic view of architecture and technology by fetishizing each without adding significant value to either. Only by critically integrating architecture and technology can we begin to approach what Gilles Deleuze refers to as the machinic phylum: an overall set of self-organizing processes in which previously disconnected elements - man and machine or architecture and technology - reach a synchronous level of cooperation. While the Gates house may not have achieved its full potential, it is still a valuable addition to the discourse since successful experiments merely reinforce our beliefs, but unsuccessful ones force us to modify, to adjust, and to improve. 
Robert Moric holds a Masters in Architecture from Columbia University. He currently teaches and practices in Phoenix.